Sejarah G30S PKI atau Gerakan 30 September yang dilancarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi cerita pahit bagi pemerintahan Indonesia saat itu.
PKI sebagai salah satu partai tertua mewadahi kaum intelektual, buruh, dan petani. Pada pemilu 1955, PKI meraih 16,4 persen suara dan menempati posisi keempat di belakang PNI, Masyumi, dan NU.
Keberadaan dan berdirinya suatu negara tentunya mempunyai sejarah yang sangat panjang, termasuk Indonesia. Setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia harus berjuang untuk menjalankan kedaulatan penuh.
Mengenal Sejarah G30S PKI

Bisa dibilang peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September 1965/PKI merupakan pengkhianatan terbesar yang menimpa bangsa Indonesia.
Peristiwa itu terjadi pada malam hari, tepatnya pada pergantian tahun tanggal 30 September hingga 1 Oktober. Pasukan Cakrabirawa juga Partai Komunis Indonesia (PKI) terlibat dalam tragedi tersebut.
D. N. Aidit menurut para ahli sejarah merupakan tokoh sentral gerakan part aini pada masa rezim Presiden Soeharto dan dalang utama gerakan 30 September 1995. Dalam melakukan makar, gerakan ini dilakukan dengan komando dipimpin langsung oleh Komandan Batalyon I Tjakrabirawa yaitu Letkol Untung Syamsuri dipimpin.
Sejarah G30S PKI dimulai di kota Jakarta juga di Yogyakarta. Pertama, mereka menargetkan para perwira senior dan dewan umum. Tujuan awal gerakan ini hanyalah untuk menculik para jenderal dan perwira serta mendeportasi mereka secara paksa ke Lubang Buaya.
Namun ada beberapa prajurit dari Cakrabirawa yang memutuskan untuk membunuh para perwira tinggi dan jenderal yang membawa mereka ke Lubang Buaya. Jenderal yang dibunuh komunis tersebut antara lain Jenderal Karel Satsuit Tubun beserta Jenderal Ahmad Yani. Para jenderal dan perwira senior yang tersisa yang tidak terbunuh akhirnya mati perlahan akibat luka yang mereka terima akibat penyiksaan di Lubang Buaya.
Jenderal yang dibunuh dalam sejarah G30S PKI antara lain Jenderal Karel Satsuit Tubun dan Jenderal Ahmad Yani. Para jenderal serta perwira senior tersisa tidak terbunuh akhirnya mati perlahan akibat luka yang diterima akibat penyiksaan di Lubang Buaya.
Pasca Terjadinya Peristiwa G30S PKI

Pasca tragedi G30S/PKI, Soekarno memerintahkan Mayjen Soeharto untuk melenyapkan seluruh elemen pemerintahan dan melepaskannya dari pengaruh Partai Komunis Indonesia. Hal ini dilakukan atas desakan warga Indonesia karena dirasa kejadian tersebut telah menimbulkan luka yang mendalam bagi merek tersebut. Setelah mendapat perintah dari Sukarno, Soeharto langsung bertindak cepat.
Dalam sejarah G30S PKI kemudian dinyatakan sebagai penggerak kudeta dan dalangnya kemudian diburu juga ditangkap. Termasuk DN Aidit yang kabur serta mengungsi ke Jawa Tengah. Tapi kemudian dia ditangkap. Selain itu, anggota organisasi lain yang bersimpati atau terkait dengan partai tersebut juga ditangkap. Organisasi tersebut antara lain Pemuda Rakyat, CGMI, Lekra, Gerakan Perempuan Indonesia, Barisan Tani Indonesia dan lain-lain.
Berbagai kelompok masyarakat pun turut serta dalam penghancuran markas di berbagai daerah. Mereka juga menyerang berbagai institusi, perkantoran, dunia usaha dan universitas yang terkait dengan partai tersebut. Pada akhir tahun 1965, diperkirakan antara 500.000 hingga satu juta anggota dan pendukung dicurigai menjadi korban pembunuhan. Ratusan ribu lainnya kini ditahan di kamp konsentrasi.
Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, sejarah G30S PKI selalu diperingati pada tanggal 30 September. Selain itu, tanggal 1 Oktober juga diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Hal itu dilakukan untuk mengenang prestasi tujuh pahlawan revolusi yang gugur dalam tragedi tersebut. Soeharto juga menggagas pembangunan Monumen Pancasila Sakti di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
G30S/PKI Diabadikan sebagai Film Propaganda

Pada tahun 1984, sebuah dokudrama propaganda tentang tragedi ini berjudul Pengkhianatan G30S/PKI resmi dirilis. Film tersebut diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara saat itu dipimpin langsung oleh Brigjen G. Dwipayana. Ia merupakan anggota pemerintahan Soeharto. Biaya produksi film tersebut adalah 800 juta. Banyak orang menduga film tersebut dimaksudkan sebagai propaganda politik jika melihat latar belakang produksi film tersebut.
Apalagi sejarah G30S PKI di era Presiden Soeharto, film ini wajib ditonton oleh anak-anak sekolah selalu tayang setiap malam tanggal 30 September di TVRI. Sejak Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, film-film sudah tidak ditayangkan lagi di TV. Hal ini terjadi karena adanya tekanan dari masyarakat merasa film tersebut tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Di bawah ini Gramedia.com menyediakan pilihan referensi buku menceritakan kebenaran sejarah G30S/PKI. Buku-buku ini sangat cocok menjadi bahan bacaan bagi generasi muda ingin mengetahui lebih jauh mengenai tragedi ini. Dalam buku ini, pembaca akan menemukan fakta menarik tentang kisah seorang tokoh politik bernama Sarwo Edhie yang memegang peranan sangat penting di sejarah G30S PKI pada tahun 1965.
Misalnya saja bagaimana nama Sarwo Edhie dan Soeharto menjadi populer pasca pergolakan politik tahun 1965, hingga peran Sarwo Edhie dalam peristiwa tersebut. Tragedi 1965-66 ini diawali dengan bubarnya Partai Komunis Indonesia serta pergantian presiden, melambungkan namanya hingga menjadi titik balik dalam hidupnya. Sebagai Komandan RPKAD dan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Kolonel Sarwo Edhie merupakan salah satu pimpinan operasi pemusnahan dari sejarah G30S PKI.